Premis atau dalil dasar kepemimpinan Kristen adalah berlandaskan
ajaran Alkitab. Secara khusus, peremis mengenai pemimpin dalam
kepemimpinan meliputi tiga hal penting, yaitu antara lain: Satu,
Panggilan Sebagai Pemimpin Kristen; Dua, Dasar Teologi Kepemimpinan
Kristen; dan Tiga, Dasar Etika-Moral Kepemimpinan Kristen.
A. Panggilan Sebagai Pemimpin Kristen
Kepemimpinan Kristen didasarkan atas premis utama, yaitu bahwa Allah,
oleh kehendak-Nya yang berdaulat, menetapkan serta memilih setiap
pribadi dalam lingkup dan konteks pelayanan menjadi pemimpin Kristen.
Pemimpin yang dipanggil oleh Allah ini adalah untuk pelayanan memimpin.
Premis ini ditegaskan oleh Profesor Dr. J. Robert Clinton yang
mengatakan,
“Pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai PEMIMPIN yang ditandai oleh adanya:
1. Kapasitas memimpin dan
2. Tanggung jawab pemberian Allah
UNTUK
3. Memimpin suatu kelompok umat Allah (gereja)
4. Mencapai TUJUANNYA bagi, serta melalui kelompok ini” (Clinton 1989:2).
Dari penegasan Profesor Clinton di atas, dapat dikatakan bahwa seorang
pemimpin Kristen ada sebagai pemimpin karena ia dipanggil oleh Allah.
Dengan demikian, ia harus memiliki kesadaran diri sebagai telah
terpanggil Allah dan meneguhkan kualifikasi dirinya sebagai pemimpin.
Sikap ini perlu dipertegas dengan memperhatikan bahwa seorang pemimpin
Kristen adalah seorang individu yang telah ditebus Allah, yang olehnya
ia harus yakin bahwa ia terpanggil Allah untuk memangku tanggung jawab
kepemimpinan. Kebenaran ini pada sisi lain, menegaskan bahwa Allah telah
mengaruniakan kepadanya kapasitas teguh untuk memimpin, sehingga ia
dapat membuktikan diri sebagai pemimpin sejati (Lihat: Kejadian 12:1-3;
Keluaran 2-7; dan 18, Roma 12:8, dsb.).
B. Dasar Teologis Filosofis Kepemimpinan Kristen
Dasar teologis-filosofis yang harus dipahami dan harus ada pada seorang pemimpinan Kristen ialah:
1. Pemimpin Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia
terpanggil sebagai – “pelayan-hamba” (Makus 10:42-45). Sebagai pelayan,
pemimpin terpanggil kepada tugas yang olehnya ia menjadi pemimpin.
Sebagai hamba, ia terpanggil dengan status menghamba kepada TUHAN, yang
harus diwujudkan dalam sikap, sifat, kata, dan perbuatan.
2. Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar kepemimpinan Kristen
yaitu; Satu: “membina hubungan” dengan orang yang dipimpinnya dan orang
lain pada umumnya (Markus 3:13-19; Matius 10:1-4; Lukas 6:12-16). Dalam
kaitan ini, perlulah disadari bahwa kadar hubungan-hubunganlah yang
menentukan keberhasilan seseorang sebagai pemimpin. Dua: “mengutamakan
pengabdian” (Lukas 17:7-10). Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa
“kerja” adalah fokus, prioritas, sikap serta tekanan utama, sehingga ia
akan mengabdikan diri untuk melakonkan tugas kepemimpinan dengan
sungguh-sungguh.
3. Pemimpin Kristen harus memahami PROSES KEPEMIMPINAN serta ketrampilan memimpin, antara lain:
a. Ia harus mengetahui tujuan (tujuan Allah, tujuan organisasi, tujuan
operasi kerja) dari institusi/organisasi yang dipimpinnya.
b. Ia perlu mengenal tanggung jawab serta tugas yang dipercayakan kepadanya.
c. Ia harus memahami dan mengenal fungsi pengelolaan kerja (manajemen) – (Lukas 14:28-30).
d. Ia harus berupaya mengenal setiap orang yang dipimpinnya untuk
mempermudah penggalangan serta pembinaan hubungan antara
pemimpin-bawahan, sebagai dasar untuk melaksanakan kinerja kepemimpinan
yang berkualitas. Kondisi hubungan baik antara pemimpin dengan para
bawahan sangat menentukan pelaksanaan kerja yang dapat dilakukan dengan
baik pula.
e. Ia harus mengerti dengan baik bagaimana caranya mencipta hubungan,
kondisi yang kondusif, serta pemenuhan kebutuhan dari bawahannya dalam
upaya memperlancar uapaya dan kinerja kepemimpinan.
C. Dasar Etika-Moral Kepemimpinan Kristen
Kepemimpinan Kristen memiliki dasar etika-moral yang Alkitabiah.
Dalam kepemimpinan Kristen, presuposisi dasar etika-moral dilandaskan
atas fakta dan dinamika “inkarnasi” Yesus Kristus (Yohanes 1:1-14, 18;
Filipi 2:1-11). Konsep inkarnasi dalam kepemimpinan Kristen yang
dibangun di atas fakta “inkarnasi Yesus Kristus” yang memiliki kisi
kebenaran berikut:
1. Dasar perilaku etika-moral kepemimpinan Kristen adalah pribadi Yesus
Kristus, termasuk: kehidupan, karya, ajaran dan perilaku-Nya, di mana
seluruh kerangka kepemimpinan Kristen dibangun di atas dasar ini (I
Yohanes 2:6).
2. Orientasi dan pendekatan etika-moral kepemimpinan Kristen bersifat
partisipatif yang berlaku dalam penerapan kepemimpinan Kristen pada
segala bidang hidup (Lukas 4:18-19).
3. Dinamika etika-moral kepemimpinan Kristen terwujud oleh adanya
transformasi hidup (individu/masyarakat) yang dibuktikan dengan
pertobatan/pembaharuan/pemulihan hidup dan semangat kerja
(individu/korporasi; banding: Roma 12:1-2, 8, 9-21).
4. Perwujudan dasar etik-moral kepemimpinan Kristen di atas haruslah
dinyatakan dalam sikap hati, kata dan perbuatan serta bakti setiap
pemimpin Kristen secara nyata dalam bidang hidup berikut:
a. Pemimpin Kristen harus membuktikan diri sebagai pemimpin bertanggung jawab (Ibrani 13:17).
b. Pemimpin Kristen harus menemukan diri sebagai pemimpin yang bertumbuh (Kolose 2:6-7; 3:5-17).
c. Pemimpin Kristen harus menjadi pemimpin model dalam keteladanan hidup dan kinerja (Ibrani 13:7-8).
d. Pemimpin Kristen harus memiliki: motivasi dasar Pelayan-Hamba (Markus
10:42-45), yang senantiasa menyadari akan status dan perannya sebagai
pemimpin.
Motivasi dasar seseorang pemimpin seperti ini akan sangat menentukan
sikap, perilaku, kata ddan tindakan dari orang tersebut, baik terhadap
diri, orang lain maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin Kristen
perlu memastikan apakah ia memiliki dasar etika-moral, orientasi dan
motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
RANGKUMAN
Peerlu dipertegas, bahwa pada dasarnya kepemimpinan Kristen memiliki
faktor-faktor dan matra-matra dasar kepemimpinan yang sama dengan
kepemimpinan umum lainnya. Pada sisi lain kenyataan yang membedakan
antara Kepemimpinan Kristen dan kepemimpinan lainnya ialah hakikat,
dinamika, serta falsafah yang didasarkan pada Alkitab. Sebagai contoh,
premis utama kepemimpinan Kristen ialah bahwa Allah yang berdaulat oleh
kehendak-Nya yang kekal, telah menetapkan serta memilih setiap pemimpin
Kristen kepada pelayanan memimpin. J. Robert Clinton mengatakan, “Allah
memilih bagi dirinya seorang pemimpin, dan Allah mengembangkan pemimpin
tersebut sepanjang kehidupannya.” Itulah sebabnya tatkala mendefinisikan
tentang siapa pemimpin Kristen itu, Clinton menjelaskan:
“Pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai PEMIMPIN yang ditandai oleh:
1. Kapasitas memimpin dan
2. Tanggung jawab pemberian Allah
UNTUK
3. Memimpin suatu kelompok umat Allah (Gereja)
4. Mencapai TUJUANNYA (bagi serta) melalui kelompok ini”
Premis utama ini menyinggung hakikat kepemimpinan Kristen – bahwa
Allah adalah segala-galanya bagi kepemimpinan Kristen, dimana Ia-lah
yang mengawali, menopang, dan menghasilkan dalam seluruh proses
kepemimpinan. Hal ini senada dengan pernyataan David Hocking yang
mengatakan, “Tanpa bantuan Allah, tidak seorang pun di antara kita dapat
mengharap menjadi apa yang Allah gambarkan sebagai seorang pemimpin
rohani.” Melihat premis di atas, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan
Kristen adalah “God Centered Leadership” dengan pemimpin sebagai God
centered leader – di mana Allah adalah segala-galanya bagi pemimpin dan
kepemimpinan itu.
Indikator penting bahwa seseorang dipanggil Allah kepada tugas
kepemimpinan ialah bahwa ia memiliki kapasitas lengkap sebagai pemimpin,
dan ada tanggungjawab yang diuntukkan baginya guna menjalankan upaya
memimpin. Pada pihak lain kepemimpinan Kristen meletakkan kedudukan
pemimpin Kristen secara proposional, di mana “pemimpin Kristen adalah
pemimpin yang berkarakter tinggi, berpengetahuan komprehensif dan khas
lebih, serta berkecakapan sosial dan teknis yang andal. Pemimpin Kristen
seperti ini akan terbukti sebagai pemimpin dengan ciri-ciri
“efektivitas tinggi, efisiensi tinggi, dan hubungan sehat yang tinggi” –
sehingga dapat mewujudkan kinerja optimal dengan produk unggul dalam
kepemimpinan yang diembannya. Ciri-ciri di atas akan selalu terlihat
dengan adanya kisi-kisi berikut:
1. Pemimpin mengabdi dengan komitmen yang tinggi kepada Allah, kepada organisasi (gereja) dan kepada tugas (misi Allah).
2. Pemimpin memiliki dan mempertahankan nilai efektivitas tinggi yang
ditandai oleh sifat dan sikap pemimpin dengan gaya kepemimpinan berikut:
a. Ia adalah pemimpin teladan-bertanggung jawab.
b. Ia adalah pemimpin inspirator-komunikator.
c. Ia adalah pemimpin pemersatu-dengan kerja sama yang tinggi.
d. Ia adalah pemimpin pekerja-motivator ulung.
e. Ia adalah pemimpin berwibawa-otokrator bijak.
f. Ia adalah pemimpin strategos-terfokus yang selalu tepat arah dan pencapaian.
g. Ia adalah pemimpin peduli-terpadu yang memiliki kepedulian tinggi atas kesejahteraan semua pihak dalam kepemimpinannya.
Ciri khas pemimpin Kristen seperti inilah yang menempatkan
kepemimpinan Kristen sebagai unik, dengan hakikat, dinamika, serta
falsafah penuntunnya yang khas. Hal mana akan mewarnai “leader behavior,
leadership style, dan leadership performance” – yang membawa “summum
bonum” (kebaikan tertinggi) bagi diri (sebagai pemimpin), bawahan (orang
yang dipimpin), organisasi dan masyarakat (lingkungan) di mana
kepemimpinannya diaktualisasikan secara optimal.
Minggu, 30 Juni 2013
Jumat, 07 Juni 2013
Gereja dan Kepemimpinan Dalam Jemaat
ABSTRAK
Kepemimpinan secara umum telah dikenal untuk
jangka waktu yang panjang. Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan telah diterapkan
di mana-mana, dalam lingkungan masyarakat tradisional, maupun masyarakat maju,
dari negara-negara kuno, sampai negara-negara modern pada abad XXI ini. Alkitab
secara khusus memberikan pengakuan kepada kepentingan kepemimpian dengan
menegaskan “Jikalau tidak ada pimpinan jatuhlah bangsa, tetapi jika penasehat
banyak, kesematan ada” (Amsal 11:14). Di sini Alkitab melihat peran pemimpin dalam
kepemimpinan sebagai “sangat penting,” karena menentukan jatuh bangunnya suatu
kelompok. Di samping itu, manfaat pemimpin dan kepemimpinan adalah untuk
membawa kebaikan – kesejahteraan (keselamatan) kelompok. Melihat pentingnya
kepemimpinan seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dipastikan bahwa
kepemimpinan ternyata di pelukan di mana-mana, termasuk di dalam gereja.
Mencermati hubungan gereja dan kepemimpinan dalam jemaat dapat dikatakan bahwa
adalah bijak untuk mengkaji seberapa penting serta seberapa kuat pengaruh
kepemimpinan gereja bagi jemaat. Pengkajian ini akan menyoroti dua aspek
penting, yaitu antara lain; Gereja dan Kepemimpinan dan Pemimpin dalam
Kepemimpinan Jemaat, Anggota Jemaat dalam kepemimpinan gereja, yang akan
diakhiri dengan suatu rangkuman.
GEREJA DAN
KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan Gereja, adalah bagian dari
kepemimpinan Kristen. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kepemimpinan gereja
berkaitan dengan kepemimpinan dalam organisasi gereja. Memahami kepemimpinan
gereja dalam perspektif ini, sebagai bagian dari kepemimpinan Kristen,
kepemimpinan gereja adalah juga “Suatu proses terencana yang dinamis dalam
konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor waktu, tempat, dan situasi
khusus) yang di dalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya
seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk memimpin umat-Nya (yang
mengelompokkan diri dalam suatu institusi/organisasi gereja) guna mencapai
tujuan Allah[2] (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan
hidup) bagi serta melalui umat-Nya, untuk kejayaan kerajaan-Nya.”[3] Pemahaman
tentang kepemimpinan Kristen ini menegaskan bahwa kepemimpinan gereja sebagai
proses terencana dan dinamis, mengambil konteks pelayanan Kristen sebagai
faktor situasi khusus. Faktor situasi khusus ini berhubungan dengan pelayanan
gereja lokal yang meliputi faktor waktu serta tempat khusus pula. Dalam kaitan
ini dapat dikatakan bahwa kepemimpinan gereja adalah kepemimpinan Kristen yang
mengambil gereja lokal (dalam organisasi atau denominasi khusus) sebagai lokus
(tempat) di mana kepemimpinan Kristen itu dijalankan. Pemahaman ini bertautan
erat dengan premis kepemimpinan Kristen, yang menegaskan bahwa dalam proses
yang dinamis yang mengambil gereja lokal sebagai lokus ini, Allah campur tangan
yang ditandai oleh tindakan-Nya memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin, ke
dalam tanggung jawab kepemimpinan. Di sini dapat ditekankan bahwa, pemimpin
gereja adalah seseorang yang dipanggil Allah kedalam tanggung jawab
kepemimpinan. Panggilan kepada tanggung jawab kepemimpinan ini ditandai oleh
adanya kapasitas serta tanggung jawab yang melekat padanya pemimpin untuk
memimpin organisasi gereja. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebagai
seseorang yang dipanggil Allah ke dalam tanggungj awab kepemimpinan, pemimpin
gereja perlu bersikap pasti akan panggilan Allah kepadanya (Markus 10:40;
Yohanes 3:27). Alasan kuat badi harus adanya sikap pasti ini adalah: Pertama,
panggilan Allah itu yang memberikan kepadanya otoritas untuk menjadi pemimpin.
Panggilan Allah memberikan otoritas hidup, yang olehnya pemimpin dapat hidup
dan memimpin seperti Yesus Kristus (Galatia 2:20; I Yohanes 2:6), yaitu
“memimpin dari hati, berlandaskan kasih dengan kekuatan kebenaran –
kebaiakan-Nya.” Dengan otoritas kepemimpinan berdasarkan panggilan Allah ini,
pemimpin juga dilengkapi dengan kuasa kepemimpinan lengkap[4] yang ditopang
oleh kredensi ilahi sehingga ia dapat melakukan upaya memimpin. Alasan kuat
bagi kebenaran ini ialah karena panggilan Allah ini mengandaikan adanya
kapasitas pemberian Allah untuk menjadi pemimpin yang berkualitas.[5] Kedua,
panggilan Allah ini memberikan tanggung jawab kepada pemimpin guna membuktikan
diri sebagai pemimpin yang kompeten, yang dapat melaksanakan upaya memimpin
secara benar, baik, sehat dan berhasil. Di sini pemimpin secara pribadi
bertanggung jawab untuk menetapkan rancangan pengembangan formatif bagi
dirinya, yang terfokus kepada pengembangan dirinya menjadi pemimpin
kompeten.[6]Sejalan dengan ini, pemimpin harus menetapkan postur belajar
sepanjang hidup (life long learning posture) yang olehnya ia dapat terus
berkembang kearah kompetensi penuh. Perkembangan ke arah kompetensi penuh ini
mengandaikan bahwa pemimpin memiliki kapasitas lengkap yang olehnya ia dapat
memimpin secara berkualitas. Ketiga, panggilan Allah melengkapi pemimpin gereja dengan kapasitas dasar berupa
kharisma kepemimpinan (Roma 12:8c), bawaan lahir, pengalaman khas, serta hasil
pembelajaran yang olehnya ia dapat membuktikan diri sebagai kompeten. Kapasitas
ini menjadi landasan kokoh sehingga pemimpin dapat memimpin organisasi gereja
dengan efektif, efisien dan sehat, yang akan membawa keberhasilan serta
kemanfaatan bagi semua pihak. Pemimpin gereja seperti inilah yang diharapkan
dapat meneguhkan gereja mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam lingkungan
di mana kepemimpinan dijalankan.
Keempat, dalam menjalankan upaya memimpin dalam kepemimpnannya, pemimpin
sepenuhnya harus meyadari bahwa faktor waktu
yang ada padanya merupakan kesempatan anugerah, yang olehnya pemimpin
harus mengisi kepemipinannya secara bijaksana. Mengisi kepemipinan secara
bijaksana berarti pemimpin harus memimpin dengan benar, baik, sehat dan
produktif yang membawa hasil positif. Kebenaran ini menegaskan bahwa pemimpin
harus menjalsnkan kepemimpinanya secara penuh kesadaran bahwa inilah waktu yang
TUHAN Allah percayakan kepadanya untuk menjadi pemimpin. Karena itu, ia harus
meimpin dengan sebaik-aiknya. Kelima, pemahaman tentang kepemimpinan gereja
seperti yang di uraikan di atas, mengharuskan pemimpin meyadari sepenuhnya akan
tanggung jawabnya dalam menjalankan upaya memimpin. Hal khusus yang harus diperhatikan ialah
pemimpin perlu memperhatikan faktor-faktor kontekstual yang berhubungan aspek
sosial kultural, sehingga upaya memimpin yang dilakukannya dapat terlaksana
dengan benar dan baik, serta menyentuh hati, serta membawa berkat.
PEMIMPIN DALAM
KEPEMIMPINAN JEMAAT
Pemimpin gereja adalah pemimpin rohani.
Sebagai pemipin rohani, ia memiliki tanggung jawab besar serta penting dan
berat untuk menjalankan upaya memimpinnya. Sebagai hamba TUHAN, pemimpin sangat
bertanggnungajwab meneguhkan sikap terhadap diri sendiri serta rumah tangganya,
dan sikap terhadap pelayanannya, sehingga ia terbukti layak untuk memimpin umat
Allah. Dalamkaitan ini, kebenaran
terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap pemimpin rohani ialah, Pertama,
sebagai pemimpin rohani, pemimpin gereja secara khusus terpanggil sebagai
gembala. Panggiannya sebagai gembala inilah yang mengharuskannya mencontohi
Gembala Agung, yaitu TUHAN Yesus Kristus dengan “hidup seperti DIA” (Yohanes
10:11; I Yohanes 2:6). Di sini setiap gembala harus menyadari bahwa ia adalah
“pemimpin rohani,’ yang bertanggung jawab menjalankan kepemimpinannya
sedemikian rupa sehingga kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat.
Kehidupannya harus mendemonstrasikan iman, pengharapan dan pelayanan yang dapat
dicontohi (Ibrani 13:7). Di sini pemimpin jemaat harus menjadi contoh dalam hal
iman dengan etika moral agung. Kedua, sebagai gembala ia harus membangun dirinya
di dalam kebenaran dan kesucian (I Petrus 1:15-16). Pemimpin rohani harus hidup
dalam kebenaran, kekudusan, keadilan, serta kebaikan sehingga ia dapat memimpin
dengan kuliatas tinggi (Filipi 4:5,8-9). Ia harus membuktikan dirinya hidup
dalam kemurniah hati, jiwa dan rohnya, sehingga ia memiliki budi yang luhur
(Yesaya 32:8; Roma 12:1-2) yang olehnya ia dapat memimpin secara arif.
Kebenaran ini bersifat wajib, karena pemimpin yang memimpin dengan budi luhur
sajalah yang dapat menimpin dari hati (Amsal 4:23), yang olehnya ia membawa
berkat bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin dalam hal ini harus memimpin dalam
kasih, iman serta pengharapan yang teguh sehingga ia dapat mempersatukan dan
membangun jemaat (Efesus 4:1-17). Pemimpin dalam hal ini memimpin sambil
menjaga dirinya agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan benar serta
melindungi orang-orangnya (I Timotius 4:16). Pemimpin berbudi luhurlah yang
dapat menjalankan kepemimpinannya dengan hikmat seperti Salomo, sehingga ia
memberkati orang-orangnya (I Raja-raja 3:9-14; 16-28). Pemimpin yang menjaga
hatinya adalah pemimpin yang dapat memimpin dalam kebenaran dengan membawa
kedamaian (Yesaya 32:1-2, 17) serta meneguhkan bahnyak orang (Daniel 12:3).
Ketiga, sebagai pemimmpin rohani, ia harus membangun diri dan rumah tangganya
di dalam TUHAN, sehingga ia membuktikan bahwa ia layak memimpin umat yang
dipercayakan kepadanya. Ia haruslah seorang kepala dan atau Ibu rumah tangga
yang dapat dicontohi karena dihormati oleh anak-anaknya (I Timotius 3:1-7), sebagai
orang dapat dipercaya (II Timotius 2:2). Keempat, sebagai pemimpin rohani, ia
harus memimpin dengan sukarela, suka cita, tidak mencari keuntungan sendiri,
karena ia adalah representasi Kristus bagi umatnya (I Petrus 5:1-5; Ibrani
13:17). Kelima, dalam tugasnya, gembala adalah representasi nabi (yang
berbicara atas nama TUHAN), imam (yang mewakili umat di hadapan TUHAN) dan
rasul (terutus TUHAN untuk) menjalankan misi-Nya. dalam kaitan ini, gembala
harus menjalankan tugas sedemikian kudus, sehingga ia layak di hadapan TUHAN
dan manusia serta dapat melakukan tugas mulianya dengan penuh berkat. Keenam,
pemimpin rohani harus memimpin dalam roh yang bernyala-nayal bagi TUHAN,
sehingga ia menjalankan kepemimpinannya dengan penuh semangat, penuh kebenaran,
penuh kebaikan yang memberkati banyak orang (Roma 12:9-21). Ketujuh, gembala
sebagai pemimpin rohani haruslah mempertahankan sikap rendah hati dan taat
penuh kepada Allah dengan menjadi pembelajar sepanjang hidupnya, sehingga ia
dapat terus berkembang serta menjadi berkat secara konsisten (Yesaya 50:4).
Gembala sebagai pembelajar, harus mengutamakan Firman Allah dalam kehidupannya
(Mazmur 1), sehingga kehidupan rohaninya bertumbuh. Gembala harus menjadikan
Firman Allah segala-galanya bagi dirinya (Mazmur 119:105), sehingga ia menjadi
pemimpin rohani yang kuat, dimana seluruh hidup dan pelayanannya mencerminkan
keagungan TUHAN. Pada akhirnya pemimpin dapat menjadi berkat kepada banyak
orang serta membawa kemuliaan kepada TUHAN Allah (Roma 11:36). Kenyatan ini harus
dimuai dari dalam jemaat, sampai keluar batas ke dalam masyarakat, sehingga
TUHAN Allah terus diagungkan, dan pemimpin menjadi berkat serta menikmati
berkat (Ulangan 28:1-14).
ANGGOTA JEMAAT
DALAM KEPEMIMPINAN GEREJA
Anggota jemaat adalah bagian penting dari
kepemipinan gereja. Alasan terkuatnya ialah bahwa, apabila ada gembala sebagai
pemimpin, maka kepemimpinan itu ada karena adanya anggota jemaat sebagai orang
yang dipimpin. Dalam hubungan ini, peran anggota jemaat yang sangat krusial
ialah bahwa mereka harus menyadari keberadaan, peran dan tanggung jawabnya
sebagai bagian dari organisasi serta kepemimpinan gereja. Sebagai orang yang
dipimpin, “Amanat Kepengikutan” (followership) dari TUHAN kepada jemaat ialah
“Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka
berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab
atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan
keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan kepadamu” (Ibrani
13:17; I Timotius 5:17-18). Dari mandat kepengikutan ini, ada beberapa
kebanaran yang harus disikapi secara bertanggung jawab oleh semua anggota
jemaat, antara lai; Pertama, setia
anggota jemaat bertanggung jawab untuk menaati pemimpinnya dalam TUHAN, yang
diwujudkan didalam kebenaran, kasih, kekudusan dan kesetiaan. Ketaatan ini
didasarkan atas kesadaran bahwa pemimpin bertanggung jawab penuh atas jiwa
mereka di hadapan Allah. Kedua, anggota jemaat sebagai bawahan bertanggung
jawab secara khusus untuk memberikan dukungan kepada gembala sebagai pemimpin,
sehingga ia dapat menjalankan kepemimpinannya dengan sukacita (I Petrus 5:1-4).
Dukungan ini bersifat imperatif (perintah yang wajib dilakukan) karena anggota
jemaat adalah bagian dari kepemimpinan gereja pada satu sisi. Pada sisi lain,
dukungan ini adalah merupakan wujud partisipasi penting dari setiap anggota
untuk mengdukung kelancaran kepemimpinan gereja. Dalam hubungan ini, indikator
terpenting dari keberhasilan kepemimpinan gereja ialah adanya dukungan serta
partisipasi aktif dari semua anggota jemaat. Dukungan dan partisipasi anggota
ini bukan saja dilakukan dengan memberikan hartanya, tetapi terlebih penting
adalah komitmen untuk mengabdi bersama-sama, dan bukti bekerja sama bahu
membahu memajukan pekerjaan TUHAN. Ketiga, dukungan bawahan terhadap pemimpin
merupakan reinforcement (peneguhan)
baginya, sehigga ada kekuatan ganda padanya untuk menjalankan kepemimpinan
secara berkualitas. Dukungan anggota kepada pemimpin meneguhkan moral serta
semangat kerja dari pemimpin, sehingga ia dapat menjalankan kepemimpinannya
dengan penuh kasih karunia, rajin serta berapi-api bagi TUHAN (Roma 12:9-11).
Mewujudkan peran anggota dalam kepemimpinan
seperti yang diuraikan di atas, menuntut pemimpin untuk berinisiasi sera aktif
untuk meneguhkan iman, kasih dan harapan semua anggotanya. Dalam kaitan ini,
gembala bertanggung jawab penuh memimpin bawahannya di dalam pengenalan akan
kasih TUHAN, sehingga mereka menjadi “dewasa di dalam TUHAN” (Efesus 4:1-17).
Kedewasaan anggota jemaat terlihat dalam dua indikator penting. Pertama, ada
kedewasaan rohani, dimana mereka akan lebih mengasihi TUHAN, mengasihi gembala
serta mengasihi sesama anggota (Kisah Para Rasul 2:41-47). Kedewasaan rohani
memberikan kekuatan karakter Kristen sebagai landasan utama bagi
hubungan-hubungan dan pengabdian bersama di dalam jemaat. Kedewasaan rohani ini
akan nampak dalam kemauan benar dan baik yang nyata pada sikap saling
menagasihi, menghiraukan, saling mendukung mewujudkan sinergi dalam menjalankan
kepemimpnan gereja (Yohanes 13:1, 34-35). Kedua, ada kematangan kerja, yaitu
sikap pengabdian yang tinggi kepada TUHAN dan gerejanya (Markus 10:41-45).
Sikap kematangan ini dinyatakan dalam kerja yang penuh pengabdian (Lukas
17:10), dimana semua anggota terlibat secara aktif serta sukacita mendukung
kepemimpinan gereja. Keterlibatan kerja melalui pengabdian semua anggota ini
mewujudkan sinergi yang menggerakkan mesin kehidupan gereja secara simultan
(bersama-serempak), yang olehnya akan ada bukti kemajuan yang pasti. Indikator
terpenting bahwa gereja serta kepemimpinan jemaat sedang maju dan berkembang
ialah, “Mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari TUHAN menambah jumlah
mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kisah Para Rasul 2:47).
EPILOG
Gereja sebagai Umat Allah yang terhimpun dalam suatu organisasi memiliki
hubungan yang erat dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan gereja menunjukkan adanya pemimpin, yaitu gembala dengan
peran lengkapnya sebagai pemimpin, anggota jemaat dengan peran utuhnya sebagai
peserta keberhasilan organisai dan situasi setempat yang harus dihidupi secara
kondusif oleh semua komponen manusia gereja. Apabila gembala dan semua anggota
memperhatikan serta mengihidupi prinsip yang telah di singgung si atas,
kepemimpinan gereja pastilah akan berjalan sebagai mana mestinya. Dalam
hubungan ini, gembala sebagai “pemimpin rohani“ sangat bertanggung jawab
membangun kepemimpinan gereja yang dipimpinnya. Karena itu, ia harus memulai
dengan membangun dirinya di dalam TUHAN, yang olehnya ia mampu hidup dan
pemimpin sebagai pemimpin rohani yang sejati. Gembala yang kompeten, tentu
menyadari akan tanggung jawab utamanya sehubungan dengan kehidupan anggotanya.
Dalam kaitan ini, gembala harus memberi dirinya untuk mendewasakan anggotanya
di dalam TUHAN, yang olehnya mereka terlengkapi bagi tugas pelayanan. Gembala
sebagai pemimpin rohani yang kompeten dan anggota jemaat yang dewasa serta
matang menampakkan indikatornya dalam kepemimpinan gereja yang berkualitas.
Kepemimpinan gereja yang berkualitas ini nampak dalam disiplin rohani, komitmen
setia kepada TUHAN, serta dedikasi untuk mengabdi kepada Allah bagi tugas
misi-Nya (Yohanes 17:18). Pada akhirnya dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan
gereja yang berkualitas akan terbukti dengan adanya kemajuan dalam palayanan
yang membawa banyak jiwa datang kepada TUHAN dan memuliakan nama-Nya yang kudus
(Roma 11:36). Selamat membuktikan diri!
Kamis, 06 Juni 2013
Menjadikan "KEMUNGKINAN" menjadi "KENYATAAN"
Selamat pagi.
hari ini saya terinspirasi setelah membaca sebuah teks dengan topik Menjadikan
"KEMUNGKINAN" menjadi "KENYATAAN" akhirnya saya ingin
posting di Blog saya ini supaya teman- teman bisa membaca. dan mudah - mudahan
bisa menginspirasi sahabat semua. Di tahun 1900, Wright bersaudara sudah
mengajukan kemungkinan orang dapat terbang. Tanggapan sinis dan keraguan
menyerang mereka bahwa manusia tidak dapat terbang.
Banyak sekali
percobaan mereka yang gagal. Tapi Orville Wright dan Wilbur Wright tidak
menyerah pada visi mereka. Mereka
mempersiapkan segala risikonya jika percobaan mereka gagal, seperti mereka
menyiapkan landasan darurat di pantai berpasir yang lebih aman. Pada 17
Desember 1903, di pagi hari yang cerah, mereka berhasil mengubah kemungkinan
menjadi kenyataan. Dari percobaan yang berulang kali gagal, Wright bersaudara akhirnya
berhasil menorehkan sejarah penerbangan dunia untuk pertama kalinya. Meski
hanya bisa melayang setinggi 10 kaki selama 12 detik, tetapi percobaan mereka
merupakan fondasi
penemuan pesawat terbang. Jika Anda dapat melihat
kemungkinan-kemungkinan,
yakinilah dan wujudkan kemungkinan tersebut!
Mungkin Anda juga
akan melihat banyak rintangan dan tantangan. Tetapi yang membedakan Anda dengan
orang lain adalah mereka hanya bisa melihat
risikonya saja,
sedangkan Anda bias melihat bagaimana mengatasi risiko
tersebut. Ketika
orang lain menyerah dan menangisi kegagalan, kekuatan pikiran Andalah yang
dapat mengatasinya. Katakan bahwa Anda dapat bangkit lagi setiap kali gagal dan
mencoba lagi. Singkirkan segala keraguan dan ketakutan. Jika Anda percaya Anda dapat
terbang, maka Anda pun terbang.
Langganan:
Postingan (Atom)
HIDUP UNTUK MENANG & MENANG DENGAN STRATEGI
HIDUP UNTUK MENANG & MENANG DENGAN STRATEGI Dalam hidup, memiliki strategi adalah jalan untuk memenangkan tujuan. Karena, selam...
-
Salam damai sejahtera buat kita marga gea di tanah air dimana pun anda semua berada,dengan ini saya ini memberikan sedikit infomasi tent...
-
Premis atau dalil dasar kepemimpinan Kristen adalah berlandaskan ajaran Alkitab. Secara khusus, peremis mengenai pemimpin dalam kepemimpin...
-
Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, keti...